belajar dari sebuah pensil…

17 12 2010

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat. “Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?”

Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya, “Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai.” “Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti” ujar si nenek lagi.

Mendengar jawab ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai. “Tapi nek sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya.” Ujar si cucu.

Si nenek kemudian menjawab, “Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini.” “Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini.”

Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil. “Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan ALLAH, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya”.

“Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik”.

“Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar”..

“Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu”.

“Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda / goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah berhati-hati dan sadar terhadap semua tindakanmu”.

http://ceritainspirasi-arif.blogspot.com/2009/12/belajar-dari-pensil.html

semoga dapat bermanfaat… 🙂





Operator Telepon..

8 11 2010

Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa, kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : “Operator”. Dan si operator ini serba tahu. Ia tahu semua nomor telepon orang lain! Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun di rumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu.  Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini ke dalam mulut tatakala saya ingat …. Operator!!! Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.

” Disini operator…” ” Jempol saya kejepit pintu…” kata saya sambil menangis. Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan. ” Apakah ibumu ada di rumah ? ” tanyanya. ” Tidak ada orang ” ” Apakah jempolmu berdarah ?” ” Tidak, cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali ” ” Bisakah kamu membuka lemari es? ” tanyanya. ” Bisa, naik di bangku. ” ” Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu…”

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu. Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah Negara, tanya tentang matematik. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan, makannya kacang atau buah. Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini. Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar.

Saya tanya : ” Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya ?” Ia berkata pelan : ” Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain…” Kata–kata ini tidak tau bagaimana bisa menenangkan saya.  Lain kali saya telpon dia lagi. ” Disini operator ” ” Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?” Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun.  Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan ” Disini operator ” Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini.  Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal. Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian ”operator” ” Disini operator ” Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.

Saya tanya : ” Bisa ngga eja kata kukuruyuk ” Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan : “Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?” Saya tertawa. ” Itu Anda…. Wah waktu berlalu begitu cepat ya ” Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius : ” Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu.  Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon ” Saya ceritakan bahwa, ia menempati tempat khusus di hati saya.  Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. ” Tentu, nama saya Saly ” .

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly. Suara itu bertanya ” Apa Anda temannya ?” ” Ya teman sangat lama ” ” Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu…” Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya : “Maaf, apakah Anda bernama Paul ?” “Ya ” ” Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya…..” Ia kemudian membacakan pesan Saly : ” Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN… Paul akan mengerti kata kata ini….” Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Salman Alfarisi, 10 Januari 2010





Cintaku disegala sisi..

31 10 2010

Kebiasaan kita, khususnya aku, akan timbul rasa suka atau simpati karena seseorang mempunyai sisi baik. Sisi baik yang menyenangkan rasa, membuatku bisa bersyukur berjumpa pada seseorang. Misalnya istriku saat ini.

Cinta tumbuh dan berkembang karena melihat karakternya yang lembut dan bersahaja, dan gampang menolong orang lain yang kesusahan. Akhirnya aku pun bertekat untuk mempersuntingnya untuk jadi pendamping hidupku. Membayangkan sebuah rumah tangga yang penuh saling perhatian dan tentu saja cinta yang menjadi pilar kekokohan persatuan kami.

Itu lah impianku. Tapi, impian tidak lah memang harus sama dengan kenyataan. Ternyata banyak hal yang belum aku ketahui tentang istriku ini. Sisi baik yang membuatku terpikat pada awalnya, ternyata bagaikan satu buah sisi mata uang receh. Ternyata dia pun punya sisi yang lainnya, yang tak pernah aku bayangkan.

Satu dua hari pernikahan kami, aku pun kembali pulang ke orang tuaku. Tak kuat dengan apa yang belum dibukakannya kepadaku. Ternyata dia adalah janda kembang di kampungnya. Aku tak tahu, karena tak ada sedikit pun informasi darinya atau pun dari pihak lain.

Bukan aku mempermasalahkan tentang statusnya yang janda, tapi yang sangat aku sayangkan setelah ijab kabul dilakukan baru lah aku tahu, siapa sebenarnya istriku tersebut. Pengantin baru seharusnya adalah masa indah yang patut di kenang, ternyata aku harus bergulat dengan egoisme tentang harga diri seorang laki-laki yang merasa di bohongi. Sakit, itulah yang aku rasakan.

Beruntung aku mempunyai kedua orang tua yang berpandangan luas tentang hidup. Beliau mengatakan bahwa ini adalah takdir yang harus aku jalani dalam hdiupku. Memang ini cobaan ku, karena aku terlahir dengan sifat yang sangat penyabar. Ternyata memang Allah memberikan ujian sesuai dengan tingkatan iman kita. Mereka tak ingin aku menceraikan istriku dengan alasan apapun. Aku pun patuh pada nasehat mereka. Setelah mulai membuka diri untuk berdamai dengan hati, maka aku pun berusaha untuk belajar menerima istriku dengan status yang disembunyikannya tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal dari sifat yang lainnya, yang tak pernah aku temui selama ini. Ternyata perangai terhadap kedua orang tuanya berbanding terbalik dengan diriku. Aku yang tak pernah bersuara keras apalagi membentak kedua orang tuaku, ternyata istriku malah sebaliknya. Aku pun terhenyak kembali. Belum lagi lidahnya setajam silet, yang gampang sekali mengeluarkan kata yang dapat melukai seseorang seumur hidupnya. Aku sangat terpukul. Ternyata yang nampak di mataku sebuah kebaikan, ternyata di iringi dengan banyak kemungkaran yang tak pernah terbayangkan.

Istri yang aku kawini karena aku sangat mencintainya, ternyata adalah sebuah ujian untuk aku jalani seumur hidupku hingga kini. Ujian yang tak mungkin aku lepas, karena aku telah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk tidak akan pernah menceraikannya sampai ajal merengut nyawaku. Sebuah pertahanan yang sangat kuat harus aku tanamkan, kemana aku harus bersandar bila aku tidak memulangkannya kepada penentu “Takdir”ku, Ilahi Robbi.

Setelah beberapa tahun perkawinan kami, hingga dikarunia dua anak yang lahirnya berdekatan, aku dan istriku masih sering kali bertengkar sengit dan kadang membuat anak-anak kami ketakutan. Aku yang tadinya bukanlah tipe pemarah dan gampang mengeluarkan kata makian, ternyata beberapa tahun bersama istriku aku telah berubah menjadi seseorang yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku bukanlah aku yang dulu, yang selalu takut melukai lawan bicaraku. Ternyata istriku dengan tabiatnya yang banyak di luar perkiraanku, mengubahku menjadi seorang pemarah dan pemaki. Walau pun itu hanya aku lakukan padanya. Tapi sungguh aku sering menangis, di kala istriku tidur. Dan munajat panjang ku di malam dingin, seringkali membuatku terpekur. “Mengapa aku jadi begini?”.

Banyak do’a yang telah keluar dari bibir ini. Banyak ustadz yang aku datangi untuk merubah prilaku istriku, ternyata semuanya tidak ada kelihatan hasilnya. Istriku masih dengan sifat bawaannya, padahal dia rajin shalat. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa.

Kemudian Allah memberikan hidayah ke dalam hatiku. Rasa ku yang dulunya kelam, ternyata dapat menangkap cahaya Ilahi. Cahaya yang membuatku dapat melihat apa yang sesungguhnya ada di hadapanku kini. Padahal kedua orang tua ku dulunya sebelum meninggal telah menyampaikannya, tapi ternyata setelah perkawinan kami menginjak dua belas tahun aku dapat memahami semua kejadian ini.

Cintaku ada karena melihat perangai baiknya, sebelum aku mempersuntingnya. Ternyata dalam cinta yang kita genggam bukan hanya harus memiliki satu sisi. Sisi buruk apa pun yang di miliki pasangan kita adalah sebuah anugerah bagi kita.

Kita harus mampu menerima keburukan, sebagaimana kita menerima kebaikannya. Cinta kepada sesuatu tidak harus banyak menuntut, tapi bagaimana sesuatu yang tidak menyenangkan mata dan hati, dapat kita ambil untuk di pelajari kemudian untuk di petik hikmahnya. Seperti bagaiaimana kuatnya kemauan Rasulullah Saw untuk meng-Islamkan pamannya Abu Thalib, ternyata beliau tak mampu. Begitu pula aku yang hanya manusia biasa.

Istriku hingga kini adalah tempatku belajar untuk sabar dan berusaha memahami bagaimana sifat dan karakternya saat ini. Dia tidak terlalu bersalah, karena aku menyadari itu adalah hasil didikan dari lingkungannya, baik dari kedua orang tuanya maupun dari keluarga besarnya.

Jadi di umur yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan kedua anak kami yang telah menyelesaikan pendidikannya, membuatku lebih tenang dalam mengisi sisa-sisa hidupku ini. Aku merasakan sebuah ketenangan dan penerimaan total atas semua dua sisi sifat istriku yang aku cintai itu dengan sangat sadar.

Sadar bahwa memang hidup di dunia ini, akan selalu ada cobaan. Kita tak bisa merasakan sebuah nikmat bila kita selalu mempermasalahkan sesuatu yang kurang. Baik pada pasangan hidup kita, anak-anak kita atau orang-orang yang selalu bersifat kurang terpuji terhadap kita. Intinya adalah menyikapi semua hal dengan lapang dada dan sadar semuanya adalah skenario Allah Swt.

Karena sebuah kebaikan tentu lah hal yang menyenangkan yang tak perlu kita persoalkan. Bila kita menyukai seseorang karena kebaikannya, maka bersiaplah untuk pula menerima sifatnya yang tidak kita sangka, yang bila kita permasalahkan akan betul-betul menjadi masalah.

Saat ini yang aku kejar adalah sisa umurku yang tidak lama lagi, bila di sandingkan dengan umurnya Rasulullah. Maka oleh itu lah aku sangat bersyukur, karena sesuatu yang tadinya aku anggap sebuah beban ternyata adalah bentuk kasih sayang dari Allah Swt. Dengan memberikan sebuah pembelajaran dan didikan bertahun-tahun yang harus sangat payah harus ku emban, ternyata berbuah manis untuk ku petik di masa tua ini. Jadi hidup ini memang sebuah perjalanan rohani yang harus selalu kita gali hikmahnya, agar semua yang kita temui dalam perjalanan singkat di dunia ini merupakan sebuah kesadaran. Sadar bahwa semuanya adalah kehendak-Nya. Karena bagaimana pun banyak ilmu yang telah kita pelajari, atau banyak buku yang telah kita baca, semuanya itu tidak akan berfaedah bila rasa ikhlas tidak ada dalam jiwa kita.

Tiada daya dan upaya melainkan semuanya datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala..

(Tulisan ini merupakan kisah perjalanan hidup seorang lelaki yang mungkin dapat di petik hikmahnya. Amin)

Sengata, 2 Nopember 2009
Halimah Taslima
Forum LIngkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata